Dan langit pun mendung, seakan ikut bersedih bersamaku yang kini termenung sambil menatap pusara mu. Aku hanya terduduk diatas tanah merah yang baru saja digali dan jasad mu masuk kedalamnya hingga ditutup kembali kemudian dibentuk menonjol dipuncaknya, menandakan kau ada didalam sana. Gelap dan sendirian. Ah, kau memang suka kegelapan kan? Kau juga sering sekali menyendiri meski aku mati-matian mengejar mu agar aku bisa terus dekat denganmu.
Kau terlalu cepat pergi, belum sempat ku sematkan cicin emas dijarimu, belum sempat ku ucapkan kata yang selalu aku pendam dan aku simpan juga aku jaga agar kau tak mengetahuinya hingga saat yang tepat tiba bagiku untuk menyampaikannya padamu. Namun kini, saat yang kunanti dan kudamba itu tak akan pernah tiba.
Mungkin ini memang takdir kita berdua, yang memang tak dituliskan untuk bisa bersatu dan saling mencintai.
Tubuhmu kaku. Aku hanya bisa menatap wajah mu yang putih pucat. Dan aku hanya bisa melihat tangisan kedua orang tua mu. Ibumu, beliau menangis tanpa suara, seakan tak bisa lagi menahan rasa pedih di hatinya yang rapuh itu. Ayahmu, beliau menangis sambil menahan amarah dalam dadanya yang bidang, seakan ingin menerkam si pelaku yang tega melakukan hal busuk itu padamu.
Aku tak percaya saat sepupumu, Kinara. Memberitahu aku bahwa kau tewas..kau mati..kau tidak ada..kau pergi..kau tiada. Berulang kali aku berucap bahwa Kinara berbohong. Namun sesaat setelah dia menjelaskan kepadaku mengapa kau bisa tewas, kepalaku pening. Ingin rasanya mengeluarkan isi perutku mendengar penjelasan Kinara.
Kau. Yang ku tau. Kau orang baik-baik. Namun mengapa kau mati dalam keadaan yang buruk seperti ini. Aku hanya bisa menyentuh tanah yang kini menutupi dirimu. Memisahkan aku denganmu. Memisahkan dunia kita.
Kau. Hanya bisa kusentuh namamu yang tercantum di kayu nisan. Naisira Jenah. Lahir 26 Oktober 1990. Wafat 13 Oktober 2013. Nai kau pergi. Nai, aku tetap disini. Nai kau pasti tak akan pernah tau perasaanku. Nai, aku akan tetap mencintaimu dalam diam seperti ini. Nai kau mati. Nai, aku hidup.
Nai..Nai..Nai..Nai…
Mendung menggelayut begitu pekat. Hingga tetesan air mulai jatuh membasahi pusaramu. Aku haruslah beranjak dari tempatku duduk, menepuk-nepuk celanaku yang kotor terkena tanah merah. Melangkah pergi sambil sesekali menengok ke arah pusaramu. Nai, aku benci dia yang membunuhmu. Nai, aku benci dirimu yang selalu diam dan mendiamkan aku. Tapi Nai, rasa cinta ini tak akan pudar meski kau telah mati. Aku dibutakan oleh senyum dingin mu. Aku dibutakan oleh matamu yang berwarna abu.
Nai..Nai..Nai..
Ku panggil nama mu lagi. Berharap kau bangun dari tempatmu dan mengejarku lalu memelukku. Nai, bertemulah denganku dalam mimpi. Bujuklah aku untuk ikut bersamamu. Nai.
Langit mendung. Hujan turun. Aku berjalan meninggalkan area pemakaman masih dengan harapan yang sama, “Nai Bangkit dan Berlari Mengejarku kemudian Memelukku Erat”.
Nai, Aku Mencintaimu meski kehidupanmu harus berakhir dalam dekapan si pembunuh.
————-
Sekilas Berita Pembunuhan
Seorang wanita muda tewas dibunuh seorang pria paruh baya yang mabuk. Minggu, 13 Oktober 2013. Wanita tersebut tewas di tusuk dengan ujung botol yang sebelumnya dipecahkan oleh si pelaku. Polisi masih menyelidiki kasus pembunuhan ini.
————-
Langit mendung beserta rintikan hujan menghiasi senja ini. Kawanan burung terbang membentuk formasi demi menghindari angin yang kencang menghantam pepohonan dan menggugurkan paksa ratusan daun yang masih hijau. Diujung jalan seorang pria yang basah kuyup terpaku. Masih menatap gerbang pemakaman. Airmata tak bisa keluar dari matanya meski ia merasa begitu kehilangan atas kepergian dia yang dicintainya. Hanya tangannya yang mengepal seakan berjanji untuk membalaskan dendam bagi dia yang telah mati kemarin malam.
Adin makan yu 🙂
yuuuu :v
😀
:v