Tatapan itu. Tatapan yang sangat aku tidak sukai. Tatapan redup dari pandangan matanya yang syahdu. Berkali-kali aku singkirkan perasaan itu. Meski aku tau, bahwa ia tak pernah menyembunyikan tatapan redup itu dari balik bingkai kacamatanya.
Lagi. Aku terjebak dalam sebuah situasi dengannya. Sepanjang jalan aku hanya terdiam. Siapa yang tau. Bahwa seseorang yang begitu aku sukai kini duduk disampingku. Ditengah keramaian dan orang-orang yang berdesakan di dalam bus kota. Aku hanya terdiam. Memangnya apablagi yang harus aku lakukan? Menyapanya? Hal bodoh yang sempat terpikirkan oleh ku namun ku urungkan untuk melakukannya.
Dan terus. Kami turun di halte yang sama. Berjalan di arah yang selaras. Namun, langkah kami tak seiring. Aku berjalan jauh di depannya. Tak berani menoleh. Tak juga berani untuk menghentikan langlahku sejenak agar kami melangkah beriringan.
Sudah cukup. Cukupkan saja omong kosong ini. Aku hanya sedang membual. Berkhayal tentang sesuatu yang aku tak akan pernah bisa mendapatkannya. Tatapan redup itu tak pernah ada. Dia hanya angan dan imajinasiku belaka. Bus kota itu tak pernah ada. Itu hanya sebagian dari potongan memori yang telah lalu. Halte itu pun tak pernah ada. Yang ada hanya sebatang pohon akasia yang berdiri kokoh menantang angin di sudut jalan. Terlebih lagi. Ia tak pernah ada. Bahkan tak pernah tercipta. Bayangan itu terus membeku. Seakan aku melihatnya begitu nyata. Berbekas. Membeku layaknya gunung es di kutub sana.
Sudahlah. Tatapan redup di balik bingkai kacamata itu hanya bayangan belaka. Ketika matahari berada diatas kepala, ketika matahari berganti sinaran sendu bulan. Bayangan itu turut menghilang. Meski terus berbekas. Dan kembali utuh.
————–
Efek baca novel sampai malam :”) jadi sok-sok-an ngelihat tatapan redup XD
02:19am-end
Tinggalkan Balasan