=Hanya potongan cerita antara Jullian dan Sheina=
Aku menyesap kopi pahitku. Sementara dia masih serius membaca novel yang ada dalam genggamannya, tanpa sedikitpun terusik oleh suara orang-orang yang tengah mengobrol seru didalam Cafe kecil ini. Aku menatapnya lamat-lamat, orang dihadapanku ini benar-benar terlalu fokus ketika membaca dan membuat aku jengkel. Meski aku tau bahwa membaca memang harus fokus. Karena aku juga bookworm, walaupun tidak se’gila’ dia.
Aku sengaja menjatuhkan buku dihadapanku dan berkata, “Aduh! Ya Ampun.” Aku meliriknya, dia tidak mempedulikanku. Sama sekali.
Aku mendengus kesal lalu mengambil novel tebal yang barusan aku jatuhkan. Dia masih saja terus membaca dan membolak-balikan halaman bukunya. Rasanya ia semakin cepat membaca.
Karena kesal, aku kemudian menarik bukunya dengan kasar. Ia terbelalak kaget, “halaman 209, halaman 209.” ucapnya sambil mengangguk-angguk, mengingat halaman yang sedang ia baca.
“Ada apa sih?” tanyanya ketus lalu mengulurkan tangannya hendak mengambil novelnya yang aku peluk erat agar ia tak bisa merebutnya.
Buru-buru aku menepis tangannya yang sudah meraih ujung novel berjudul Silent Parents itu. “Aku mengajak kamu ketemuan bukan untuk melihat kamu baca novel dihadapan aku! Tapi untuk mengobrol!” ucapku dengan nada agak tinggi. Lelaki yang ku panggil Jul ini masih terus berusaha merebut kembali novelnya.
“Aku kan menolak ajakan mu sebelumnya lewat telepon! Aku datang kesini karena terpaksa asal kau tau!” jawabnya dengan nada yang lebih tinggi. Mata dibalik bingkai kacamatanya menatapku sinis. Aku menelan ludah. Melihatnya marah seperti ini membuat aku dalam bahaya besar.
“Cih!” aku mengembalikan novel dalam pelukanku padanya. Dia mengambilnya dengan kasar dan kembali membuka halaman 209.
Kami saling terdiam. Aku yang terdiam karena perasaan tidak enakku padanya, dan dia yang terdiam dan kembali fokus kedalam bacaannya.
Aku menyesap kopi pahitku lagi. Jul tidak memesan apa-apa selain roti lapis yang sudah habis ditelannya bulat-bulat sebelum membaca tadi.
Aku menopang daguku dengan kedua siku diatas meja. Aku menatapnya lagi lamat-lamat. Mata jul bergerak begitu cepat menelusuri tiap kata didalam novel Silent Parents.
“Jul,” panggilku. Berharap dia membalas meski hanya lirikan atau berdehem. Tapi, tidak. Ia masih terus membaca. “JUL!” panggilku lagi dan meletakan tangan kiriku diatas novelnya. Ia memutarkan bola matanya dan berkata, “Apa?!” kemudian menatapku marah. Tentu saja ia akan marah. Karena aku mengganggunya lagi.
“Bisa tidak kita bicara? 30 menit saja dan kau jangan berkutat dengan novelmu!” bujukku. Namun, baginya itu bukan tawaran yang menarik. Terlihat dari alisnya yang mengernyit tanda menolak. “Baiklah, 20 menit?” tawarku. Ia masih dengan ekspresi yang sama. “15 menit? hanya 15 menit saja!” tawarku lagi, berharap Jul menyetujuinya. Meskipun 15 menit adalah waktu yang singkat bagiku. Aku tidak yakin aku bisa mengatakan semua yang ingin aku katakan kepadanya. Namun tetap, ia masih saja bertahan dengan ekspresi yang sama. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, “5 menit hanya 5 menit. Ini tawaran terakhirku dan setelah ini kau boleh pergi, kembali pulang dan membaca.” Jul menutup novelnya dan menggumamkan halaman terakhir yang ia baca.
“Lima menit bukanlah waktu yang lama kau tau. Tapi, aku harap aku bisa mengatakan semuanya padamu.” ucapku agak kecewa. Aku melirik kearah jam tua yang tergantung ditengah ruangan. Memastikan bahwa aku bersikap adil dan mengatakannya dalam lima menit saja. Jarum paling kecil terus bergerak berputar. Aku bingung harus memulai darimana.
Jul masih menatapku, menunggu kata-kata keluar dari bibirku. Aku menunduk, meremas kedua tangan diatas pangkuanku. “Jul, ini ketiga kalinya kita bisa duduk bersama, berhadapan seperti ini.” ucapku perlahan, akhirnya ada kalimat yang keluar setelah berpuluh detik aku terdiam dihadapannya. “Dan ini akan jadi pertemuan terakhir kita.” Aku mengangkat kepalaku, dan menatapnya yang masih tak berekspresi selain wajah datar. Tak ada raut wajah bertanya, mengapa? Atau sekedar bertanya melalui bibirnya, mengapa?
“Jadi, aku memintamu datang kesini untuk mengucapkan beberapa kata dan memberikanmu ini.” lanjutku lalu mengeluarkan sebuah amplop berwarna biru muda yang lembut dari saku sweater. Jul membetulkan posisi kacamatanya, tanpa berkomentar apapun. Ia tidak meraih amplop yang aku letakkan diatas meja. “Itu dari temanku, dia menitipkannya padaku setelah tau bahwa aku berteman dekat denganmu. Ya, kau pasti sudah tau apa isinya, kan? Dia selalu bercerita kepadaku tentang perasaannya padamu.” aku menelan ludah. Teringat wajah Windy yang tersipu-sipu ketika menceritakan Jul. “Dan, aku akan pergi ke London dalam 3 hari ini. Aku akan belajar bersama librarian yang ada disana. Mungkin, 5 tahun ini aku akan berada disana. Kau tau kan pergi ke London adalah impianku. Ditambah lagi disana aku belajar bukan jalan-jalan.” aku kembali menghela nafas, rasanya masih banyak yang ingin aku katakan. “Jadi, terimakasih banyak telah mengenalkan aku pada banyak buku, meski selera kita seringkali berbeda. Juga,” aku tertahan aku meliriknya sebentar dan mendapatinya tengah tersenyum tipis. Jul? Tersenyum? Aku mengalihkan pandanganku darinya. Ini semakin tidak baik. Jantungku berdebar cepat. Aku harus melanjutkan kata yang sempat tertahan tadi. “Juga sampai jumpa dan bertemu lagi suatu saat.”
Aku melirik jam dinding tua. Eh?. Aku bicara dalam waktu 8 menit?. “Ya, kau kelebihan 3 menit.” ucap Jul kemudian membuka kembali novelnya. Jadi, senyum tadi itu sebuah tanda? Dia pasti menghitung waktu juga dengan jam tangannya itu. Aku menunduk malu. Ini tidak tepat. Aku melebihkan waktu dan dia… Jul terus membaca tanpa pergi?
“Kenapa kau tidak pergi?” tanyaku padanya. Jul menutup novelnya dan menggumamkan halaman terakhir yang dibacanya. “Aku juga punya beberapa kalimat untuk kusampaikan padamu, Sheina.” katanya lembut. Ia tidak semenyeramkan ketika marah tadi. “Pertama, kau tidak perlu memberikanku ini.” ucapnya sambil menunjuk pada surat yang belum disentuhnya itu. “Windy telah berbicara padaku secara langsung dan aku sudah tau.”
“Kau menerimanya?” tanyaku lagi. Tapi, ia diam dan menatapku seolah berkata, aku masih berbicara disini. Aku menutup mulutku dan membiarkannya melanjutkan.
“Kedua, selamat atas kepergianmu ke London. Dan aku juga akan pergi bersamamu.”
“Eh?” aku terbelalak. Benarkah? Mengapa? Tapi, bagaimana bisa?
“Kau tidak perlu sekaget itu. Kau tidak ingat? Tepat diatas namamu, ada namaku yang tertera sebagai perwakilan yang juga akan pergi ke London. Program yang sama denganmu.”
“Namamu? Aku tidak melihatnya!”
“Itu karena kau selalu memanggilku Jul. Tanpa teringat bahwa namaku adalah Jullian.” sahutnya jengkel.
Aku tersenyum. Entahlah karena apa. Tapi, aku senang aku masih bisa bersamanya.
“Jadi, aku tarik kata-kata perpisahanku tadi.”
“Silakan saja. Lagipula meski kita nanti akan ditempatkan diperpustakaan yang berbeda, aku ingin tetap bertemu denganmu.” jawabnya kemudian kembali membaca Silent Parents.
Aku tidak tau ekspresi apa yang tercipta diwajahnya yang tertutup novel.
Mungkin Jul juga tidak melihat ekspresiku. Tapi aku sedang tersenyum kearahnya.
Sebaiknya, aku tidak mengatakan kata perpisahan itu padanya. Karena sejujurnya, aku tidak ingin berpisah dengannya walau sesaat. Tapi, rasanya buku apapun yang ada dalam genggamannyalah yang selalu memisahkan dunia kami.
——————————————————
Saya baru saja menamatkan sebuah novel(baca.red)! Seru! dan tergeraklah untuk menulis :”D
Alhamdulillah, yang satu ini bisa di posting. ekekekee~
Bersemangatlah para penulis pemula ~ :”D
Read Full Post »