Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Mei, 2015

K009.tumblr.com

K009.tumblr.com

Saat hal-hal yang membuat sebal itu muncul
Rasanya ingin sekali menggigit tiang listrik hingga rubuh
Atau melemparkan bom dan jadi…
KABOOM DUAARRR DUARRR DUARRR ZZZZZZ
Suaranya seperti itu ketika meledak

Hal yang menyebalkan selalu muncul
Kedua hal diatas tidak bisa dilakukan begitu saja
Saya tidak memiliki gigi yang cukup kuat untuk sekedar menggigit tiang
Ataupun kecerdasan merakit bom yang super kuat ledakannya

Ketika hal yang menyebalkan itu datang
Saya hanya diam
Memilih sendiri saja dulu
Sampai semuanya terasa tenang didalam hati

Meskipun saya jadi orang yang lebih menyebalkan
Ketika rasa kesal itu muncul
Hanya segelintir orang
Yang mampu mendekat dan bertanya

Tentu saja,
Dengan nada yang sopan
Bukan nanya seperti menjurikan saya marah padanya
Itu bisa saya terima

Menyebalkan itu datang
Ketika teman terlihat menyebalkan di pandangan mata
Ketika mereka tertawa dengan cara yang menyebalkan
Ketika mereka berperilaku dengan cara yang menyebalkan pula

Mungkinkah ada dendam yang terpendam dihati?
Yang tak bisa terobati?
Bahkan ia abadi
Mengakar hingga ke ulu hati?

Saya tak tau
Tapi memiliki dendam seperti itu
Memiliki pandangan seperti itu
Saya tak suka
Saya tak merasa bahagia

Mereka tidak mengerti
Karena saya juga tidak mencoba untuk mengerti keadaan mereka
Semua terasa sulit
Semua terlihat berat

Banyak tuntutan sana sini
Banyak masalah sana sini
Mereka wara wiri
Tak menyadari hadir di diri yang sok ini

Ingin sekali menghilangkannya
Agar tak ada lagi perasaan menyebalkan dalam hati
MENYEBALKAN
SANGAT MENYEBALKAN

Sangat menyebalkan karena memiliki rasa menyebalkan ini dan membuat kesal

Read Full Post »

“Kamu memikirkan apa sih?” Pomm menepuk pundak Kinn hingga membuyarkan lamunannya. “Kamu melamun terus sejak jam pelajaran pertama.” ucap Pomm kemudian menarik kursi hingga duduk berhadapan dengan Kinn. Kinn menghela nafas panjang dan meletakan dahinya diatas lipatan tangan. Ia tidak ingin diganggu dengan pertanyaan Pomm untuk kali ini. “Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu, Kinn.” ucap Pomm lagi kemudian mengelus rambut Kinn perlahan membuat Kinn mengangkat kepalanya dan menatap Pomm tegas.

“Kamu tidak perlu seperhatian itu kan? Tidak perlu elus-elus kepala.” tegas Kinn sambil menepis tangan Pomm yang sengaja tidak dilepaskan dari ubun-ubun Kinn. Pomm melepaskan tangannya. Ia merasa bahwa Kinn juga tidak pernah menyadari perasaannya. Begitu sulit mendekati seseorang seperti Kinn. Ya, meskipun Pomm sadar bahwa Kinn adalah sepupunya. Seorang sepupu tidak boleh memiliki hubungan lebih daripada menjadi seorang sepupu.

“Aku hanya ingin kamu menceritakan masalahmu padaku. Jika itu bisa membuatmu lebih baik.” ujar Pomm sambil mengangkat kedua bahunya.  Kinn tidak menjawab, hanya memandang keluar jendela kelas sambil bertopang dagu. Lagi, Kinn kembali dalam lamunannya. Pomm masih memandanginya lamat. Ia ingin sekali kedua mata Kinn yang selalu memandangnya sinis itu beralih memandangnya dengan tatapan berkilat-kilat gembira. Mungkin itu hanya mimpi belaka. Pomm tahu betul saat ini Kinn sedang menyukai seseorang dan orang itu menjadi saingan Pomm untuk saat ini.

“Bukan sebuah masalah yang aku pikirkan. Aku hanya sedang melamun memikirkan sesuatu yang aku yakin kamu tidak akan suka mendengarnya.” jawab Kinn pada akhirnya, pandangan matanya kembali menatap Pomm sinis.

Pomm membuka matanya agak lebar, “Benarkah?” tanyanya. Kinn tidak menjawab dan kembali menatap keluar jendela.  Pomm tidak lagi bertanya meski sebenarnya ia sangat ingin tau hal apakah itu. Pomm hanya ingin memberikan ruang untuk Kinn berpikir, ia memutuskan untuk pergi ke meja temannya yang lain.

“Pomm, lihat! Duff sudah memenuhi buku sketsanya!” tunjuk Keyy sambil mengangkat buku sketsa milik Duff bersemangat. Pomm meraih buku sketsanya dan membolak-balikan halamannya. Duff memang jenius. Gambarnya sangat luar biasa.

“Wah Duff! Aku rasa aku kalah darimu. Aku sudah memenuhi buku sketsaku. Tetapi hasilnya tidak sebagus seperti yang kau gambar disini.” puji Pomm. Duff tersenyum senang melihat kawan-kawannya memuji hasil karyanya.

“Terimakasih Pomm. Aku harap kita bisa berkolaborasi bersama nanti.” balas Duff kemudian meraih buku sketsanya dari Pomm.

Pomm merasakannya. Ia merasakan Kinn tengah melirik kearahnya. Mungkin bukan pada Pomm tapi pada Duff yang sekarang sedang dicubiti pipinya oleh Keyy. Pomm hanya tertawa kecil melihat pipi Duff yang merah-bahkan hampir biru-akibat dicubiti Keyy dengan cara terganas. Pomm tau perasaannya tidak akan pernah mencapai Kinn. Tapi, ia tau bahwa perasaan Kinn lambat laun akan tersampaikan pada Duff.

“Kau mau kemana Pomm?” tanya Keyy sambil mengelus pipi Duff tanda maaf. Duff yang juga mengelus pipinya melihat kearah Pomm yang berjalan keluar

“Aku ke ruang club dulu sebentar.” jawab Pomm tanpa menoleh. Ia hanya ingin kabur. Lari dari suasana dimana ia tau bahwa Kinn terus menatap Duff, sedang ia tak pernah dilirik sebelumnya dengan cara itu. “Guru Tapp akan segera datang, kau tau? Dia hanya pergi sebentar menemui tamu.” Tiba-tiba Keyy muncul dibelakangnya dan menarik lengan Pomm hingga membuatnya berhenti. “Hanya sebentar. Aku ingin mengambil buku sketsa kosong untuk kupakai kolaborasi dengan Duff.” timpal Pomm. Tak ada yang bisa Keyy tolak, ia melepaskan genggaman tangannya dai lengan Pomm yang kekar.

Hanya sebentar, itu yang Pomm katakan sebelumnya pada Keyy. Namun, Pomm tidak beranjak dari tempatnya duduk di ruang club. Ia terus memandangi kertas kosong dihadapannya dan uni pin pen ia genggam tanpa berani menggoreskannya diatas kertas. Ia ingin menggambar. Bahkan sangat ingin menggambar untuk saat ini. Ia hanya menggoreskan beberapa garis tegas dan menebalkannya kemudian ia bebas melakukan apapun diatas kertas itu.

“Pomm!” tegur Duff yang muncul dari balik pintu. Terguran Duff tidak mengusik Pomm yang masih asik dengan kegiatannya. Duff memutuskan untuk masuk sambil membawa tas milik Pomm dan meletakan tas itu disampingnya. Duff duduk dihadapan Pomm dan mengalihkan pandangannya pada kertas yang sebelumnya kosong kini terisi oleh gambar. Duff takjub. Ia belum pernah melihat hasil karya Pomm yang seperti ini sebelumnya. Pomm masih terdiam seakan tidak menyadari kehadiran Duff. Duffpun masih terfokus pada geliat tangan kiri Pomm yang menggambar. Begitu terus hingga lebih dari 10 menit.

Tangan Pomm terhenti. Duff mengangkat kepalanya dan melihat Pomm tengah memandanginya. Duff merasa sedikit tidak enak hati. Biasanya Pomm tidak suka ada oranglain yang melihatnya dalam proses menggambar. “Bagaimana?” pertanyaan itu terlontar dari bibir Pomm. Duff mengira ia akan diusir dari tempat itu. Duff berkedip dan kembali menunduk menatap gambar Pomm. “Ini sangat luarbiasa! Sebuah karya yang spektakuler!” jawabnya dengan nada gugup. “Ini kali pertama aku melihat bagaimana proses kamu menggambar, Pomm.” kata Duff yang akhirnya bisa mengucapkannya tanpa rasa gugup.

“Kali pertama juga bagiku, ada oranglain yang menatap tanganku seperti itu ketika menggambar.” timpal Pomm. Kemudian menarik kertasnya dan melipatnya. “Tasku. terimakasih sudah membawanya kemari.” ucap Pomm. Duff yang agak kikuk memberikan tas yang ada disampingnya pada Pomm. “Y-ya. Kinn yang memaksaku untuk membawakan tasmu ini.” ujar Duff. ucapan Duff tadi membuat Pomm yang tadinya tengah memasukan kertas kedalam tasnya jadi terhenti sejenak.

“Kinn? kau tidak salah?” tanya Pomm tidak percaya. Ia yakin sekali Kinn tidak akan pernah peduli pada tasnya bahkan pada dirinya.

“Aku tidak salah. Ia benar-benar memintaku untuk membawakan tasmu ini.” jawab Duff dengan nada yang meyakinkan. “Kinn juga menunggumu dikelas sekarang ini. Tadi tidak di absen jadi Guru Tapp tidak tau kau tidak ada.” tambah Duff yang kemudian mengambil uni pin pen yang ada diatas meja.

Tanpa berpikir panjang. Setelah mendapatkan pernyataan Duff tadi, Pomm beranjak dan berlari menuju kelas sambil menenteng tas abunya. Meninggalkan Duff yang menatapnya pergi menjauh. Duff mengangkat bahunya dan mulai menggoreskan tinta diatas kertas dihadapannya.

Nafas Pomm tidak teratur, ia berpegangan pada pintu kelas dan melihat masih ada Kinn yang tengah berdiri menatap keluar jendela. Rambut Kinn yang sebahu tersibak angin. Pemandangan yang selalu Pomm lihat. Biasanya dalam posisi seperti itu Kinn hanya terdiam dan tidak pernah tertarik untuk memandang Pomm yang berdiri disampingnya. Tapi, kali ini berbeda. Belum sempat Pomm menepuk bahu Kinn. Kinn sudah berbalik badan dan menatap Pomm dengan tatapan heran.

“Kamu habis berlari?” tanya Kinn melihat keringat Pomm sebesar biji jagung yang bercucuran dari dahinya. Nafas Pomm juga masih belum teratur. “Aku… aku…” ucap Pomm terputus-putus. Pomm masih mengatur nafasnya.

“Aku kesini karena Duff memberitau aku kalau kamu menungguku di kelas. Jadi, aku harus berlari kesini sebelum kamu pulang.” ucap Pomm setelah nafasnya kembali teratur. “Ya, itu ada benarnya. Tapi, aku hanya ingin bicara padamu untuk terakhir kalinya.” kata Kinn serius lalu melipat tangannya didepan dada. “Aku…”

Tangan Bian yan menggeliat bebas menjadi terhenti setelah mendengar teriakan tepat ditelinganya. Ya, tepat di depan telinganya. “Apa sih? Ngga perlu teriak-teriak gitu deh didepan telinga orang lain!” ucap Bian ketus. Tentu saja, ia tengah menggambar dan mendadak ia mendengar suara cempreng ditelinganya.

“Daritadi aku panggil dan kamu ngga menyahut. Khawatir kamu memang tuli, aku memanggil kamu langsung dekat telinga.” jelas Manda-pemilik suara cempreng-yang juga ketus. Bian mendecak kesal. Proyek menggambarnya yang tadi lancar berubah acak-acakan. Idenya yang sebelumnya mengalir jadi amburadul. Ini semua karena ulah si Panda, ucap Bian dalam hati.

“Menggambar sih menggambar, tapi urusan perut juga jangan dilupakan dong!” ucap Manda sinis lalu melipat tangannya di depan dada. Bian mendengus, sekarang ia menyesal karena Manda menginap dirumahnya. Orangtuanya pergi keluar kota untuk menjenguk sanak saudara. Ia mengira bahwa dengan adanya Manda ia bisa tenang menggambar, dan Manda bisa mengurus Pica adiknya yang kecil. Sialnya, semua ini tidak seperti yang diharapkannya.

“Sana masak! Aku sudah lapar! Pica juga sudah lapar! Kamu mau melihat kita berdua mati kelaparan disini?” ucap Manda lagi kini dengan nada yang agak tinggi. Bian meliriknya sinis. Beranjak dari tempat duduknya dengan malas dan melangkah ke dapur. “Setelah ini lanjutkan komikmu. Aku ingin tau apa yang akan di ucapkan Kinn pada Pomm.” ujar Manda tiba-tiba.

Bian berbalik badan menghadap Manda yang masih melipat tangannya congkak. “Sana bikin komik sendiri! Ideku buyar semua gara-gara teriakanmu tadi. Huh!” jawab Bian lalu berbalik arah menuju dapur. Melihat betapa kesalnya Bian tadi, Manda terkikik geli tanpa suara yang bisa terdengar Bian. Padahal aku tau, kisah Kinn dan Pomm itu kan berdasarkan cerita kita berdua. Dasar ngga mau ngaku!, ucap Manda dalam hatinya. Kemudian ikut melangkah ke dapur dan memilih duduk untuk memandangi punggung Bian yang tengah memasak.

————————————-

Saya menangis, entah yang keberapa kalinya di hari minggu ini.

Hanya karena suatu hal yang mungkin terlihat kecil.

Namun, terasa begitu besar di mata saya.

Ya, si cengeng itu muncul kembali.

Hadir kembali.

 

Harusnya ini diposting di hari minggu kemarin, tapi sayang koneksi tidak mendukung.

Read Full Post »

=Hanya potongan cerita antara Jullian dan Sheina=

Aku menyesap kopi pahitku. Sementara dia masih serius membaca novel yang ada dalam genggamannya, tanpa sedikitpun terusik oleh suara orang-orang yang tengah mengobrol seru didalam Cafe kecil ini. Aku menatapnya lamat-lamat, orang dihadapanku ini benar-benar terlalu fokus ketika membaca dan membuat aku jengkel. Meski aku tau bahwa membaca memang harus fokus. Karena aku juga bookworm, walaupun tidak se’gila’ dia.

Aku sengaja menjatuhkan buku dihadapanku dan berkata, “Aduh! Ya Ampun.” Aku meliriknya, dia tidak mempedulikanku. Sama sekali.

Aku mendengus kesal lalu mengambil novel tebal yang barusan aku jatuhkan. Dia masih saja terus membaca dan membolak-balikan halaman bukunya. Rasanya ia semakin cepat membaca.

Karena kesal, aku kemudian menarik bukunya dengan kasar. Ia terbelalak kaget, “halaman 209, halaman 209.” ucapnya sambil mengangguk-angguk, mengingat halaman yang sedang ia baca.

“Ada apa sih?” tanyanya ketus lalu mengulurkan tangannya hendak mengambil novelnya yang aku peluk erat agar ia tak bisa merebutnya.

Buru-buru aku menepis tangannya yang sudah meraih ujung novel berjudul Silent Parents itu. “Aku mengajak kamu ketemuan bukan untuk melihat kamu baca novel dihadapan aku! Tapi untuk mengobrol!” ucapku dengan nada agak tinggi. Lelaki yang ku panggil Jul ini masih terus berusaha merebut kembali novelnya.

“Aku kan menolak ajakan mu sebelumnya lewat telepon! Aku datang kesini karena terpaksa asal kau tau!” jawabnya dengan nada yang lebih tinggi. Mata dibalik bingkai kacamatanya menatapku sinis. Aku menelan ludah. Melihatnya marah seperti ini membuat aku dalam bahaya besar.

“Cih!” aku mengembalikan novel dalam pelukanku padanya. Dia mengambilnya dengan kasar dan kembali membuka halaman 209.

Kami saling terdiam. Aku yang terdiam karena perasaan tidak enakku padanya, dan dia yang terdiam dan kembali fokus kedalam bacaannya.

Aku menyesap kopi pahitku lagi. Jul tidak memesan apa-apa selain roti lapis yang sudah habis ditelannya bulat-bulat sebelum membaca tadi.

Aku menopang daguku dengan kedua siku diatas meja. Aku menatapnya lagi lamat-lamat. Mata jul bergerak begitu cepat menelusuri tiap kata didalam novel Silent Parents.

“Jul,” panggilku. Berharap dia membalas meski hanya lirikan atau berdehem. Tapi, tidak. Ia masih terus membaca. “JUL!” panggilku lagi dan meletakan tangan kiriku diatas novelnya. Ia memutarkan bola matanya dan berkata, “Apa?!” kemudian menatapku marah. Tentu saja ia akan marah. Karena aku mengganggunya lagi.

“Bisa tidak kita bicara? 30 menit saja dan kau jangan berkutat dengan novelmu!” bujukku. Namun, baginya itu bukan tawaran yang menarik. Terlihat dari alisnya yang mengernyit tanda menolak. “Baiklah, 20 menit?” tawarku. Ia masih dengan ekspresi yang sama. “15 menit? hanya 15 menit saja!” tawarku lagi, berharap Jul menyetujuinya. Meskipun 15 menit adalah waktu yang singkat bagiku. Aku tidak yakin aku bisa mengatakan semua yang ingin aku katakan kepadanya. Namun tetap, ia masih saja bertahan dengan ekspresi yang sama. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, “5 menit hanya 5 menit. Ini tawaran terakhirku dan setelah ini kau boleh pergi, kembali pulang dan membaca.” Jul menutup novelnya dan menggumamkan halaman terakhir yang ia baca.

“Lima menit bukanlah waktu yang lama kau tau. Tapi, aku harap aku bisa mengatakan semuanya padamu.” ucapku agak kecewa. Aku melirik kearah jam tua yang tergantung ditengah ruangan. Memastikan bahwa aku bersikap adil dan mengatakannya dalam lima menit saja. Jarum paling kecil terus bergerak berputar. Aku bingung harus memulai darimana.

Jul masih menatapku, menunggu kata-kata keluar dari bibirku. Aku menunduk, meremas kedua tangan diatas pangkuanku. “Jul, ini ketiga kalinya kita bisa duduk bersama, berhadapan seperti ini.” ucapku perlahan, akhirnya ada kalimat yang keluar setelah berpuluh detik aku terdiam dihadapannya. “Dan ini akan jadi pertemuan terakhir kita.” Aku mengangkat kepalaku, dan menatapnya yang masih tak berekspresi selain wajah datar. Tak ada raut wajah bertanya, mengapa? Atau sekedar bertanya melalui bibirnya, mengapa?

“Jadi, aku memintamu datang kesini untuk mengucapkan beberapa kata dan memberikanmu ini.” lanjutku lalu mengeluarkan sebuah amplop berwarna biru muda yang lembut dari saku sweater. Jul membetulkan posisi kacamatanya, tanpa berkomentar apapun. Ia tidak meraih amplop yang aku letakkan diatas meja. “Itu dari temanku, dia menitipkannya padaku setelah tau bahwa aku berteman dekat denganmu. Ya, kau pasti sudah tau apa isinya, kan? Dia selalu bercerita kepadaku tentang perasaannya padamu.” aku menelan ludah. Teringat wajah Windy yang tersipu-sipu ketika menceritakan Jul. “Dan, aku akan pergi ke London dalam 3 hari ini. Aku akan belajar bersama librarian yang ada disana. Mungkin, 5 tahun ini aku akan berada disana. Kau tau kan pergi ke London adalah impianku. Ditambah lagi disana aku belajar bukan jalan-jalan.” aku kembali menghela nafas, rasanya masih banyak yang ingin aku katakan. “Jadi, terimakasih banyak telah mengenalkan aku pada banyak buku, meski selera kita seringkali berbeda. Juga,” aku tertahan aku meliriknya sebentar dan mendapatinya tengah tersenyum tipis. Jul? Tersenyum? Aku mengalihkan pandanganku darinya. Ini semakin tidak baik. Jantungku berdebar cepat. Aku harus melanjutkan kata yang sempat tertahan tadi. “Juga sampai jumpa dan bertemu lagi suatu saat.”

Aku melirik jam dinding tua. Eh?. Aku bicara dalam waktu 8 menit?. “Ya, kau kelebihan 3 menit.” ucap Jul kemudian membuka kembali novelnya. Jadi, senyum tadi itu sebuah tanda? Dia pasti menghitung waktu juga dengan jam tangannya itu. Aku menunduk malu. Ini tidak tepat. Aku melebihkan waktu dan dia… Jul terus membaca tanpa pergi?

“Kenapa kau tidak pergi?” tanyaku padanya. Jul menutup novelnya dan menggumamkan halaman terakhir yang dibacanya. “Aku juga punya beberapa kalimat untuk kusampaikan padamu, Sheina.” katanya lembut. Ia tidak semenyeramkan ketika marah tadi. “Pertama, kau tidak perlu memberikanku ini.” ucapnya sambil menunjuk pada surat yang belum disentuhnya itu. “Windy telah berbicara padaku secara langsung dan aku sudah tau.”

“Kau menerimanya?” tanyaku lagi. Tapi, ia diam dan menatapku seolah berkata, aku masih berbicara disini. Aku menutup mulutku dan membiarkannya melanjutkan.

“Kedua, selamat atas kepergianmu ke London. Dan aku juga akan pergi bersamamu.”

“Eh?” aku terbelalak. Benarkah? Mengapa? Tapi, bagaimana bisa?

“Kau tidak perlu sekaget itu. Kau tidak ingat? Tepat diatas namamu, ada namaku yang tertera sebagai perwakilan yang juga akan pergi ke London. Program yang sama denganmu.”

“Namamu? Aku tidak melihatnya!”

“Itu karena kau selalu memanggilku Jul. Tanpa teringat bahwa namaku adalah Jullian.” sahutnya jengkel.

Aku tersenyum. Entahlah karena apa. Tapi, aku senang aku masih bisa bersamanya.

“Jadi, aku tarik kata-kata perpisahanku tadi.”

“Silakan saja. Lagipula meski kita nanti akan ditempatkan diperpustakaan yang berbeda, aku ingin tetap bertemu denganmu.” jawabnya kemudian kembali membaca Silent Parents.
Aku tidak tau ekspresi apa yang tercipta diwajahnya yang tertutup novel.

Mungkin Jul juga tidak melihat ekspresiku. Tapi aku sedang tersenyum kearahnya.

Sebaiknya, aku tidak mengatakan kata perpisahan itu padanya. Karena sejujurnya, aku tidak ingin berpisah dengannya walau sesaat. Tapi, rasanya buku apapun yang ada dalam genggamannyalah yang selalu memisahkan dunia kami.

 

——————————————————

Saya baru saja menamatkan sebuah novel(baca.red)! Seru! dan tergeraklah untuk menulis :”D

Alhamdulillah, yang satu ini bisa di posting. ekekekee~

Bersemangatlah para penulis pemula ~ :”D

Read Full Post »