Feeds:
Pos
Komentar

Archive for September, 2015

Tersembunyi

“Kau sedang apa, Baen?” Naul tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu kamar Baen. Meletakkan tas dan mengarahkan pandangannya pada komputer Baen.

“Seperti yang kau lihat, mengerjakan tugasku,” jawab Baen kemudian kembali menggambar dengan pen tablet-nya. Dirinya sudah biasa dengan kedatangan Naul yang tak pernah ia kira, ia juga terbiasa pada Naul yang seringkali mengganggunya dengan banyak pertanyaan.

“Masih dengan tugas yang sama?” Naul agak tertawa mengejek. Dilihatnya gambar animasi Baen yang bergerak agak timpang. “Jalannya agak pincang,” komentar Naul.

“Iya aku tau, aku salah memperhitungkan gerakan kakinya. Aku diceramahi dan harus mengerjakannya kembali dari awal,” curhat Baen, ia menghela nafas.

“Sudahlah, kota ini tidak butuh banyak animator,” ucap Naul seenaknya. Tanpa izin, Naul meminum jus jeruk dari gelas Baen.

“Ya, ya…” Baen tidak menanggapinya terlalu serius.

Baen yakin, Naul akan mulai menceritakan hal yang sama hari ini. Sama seperti kemarin lusa, sama seperti kemarin. Cerita Naul akan tetap sama.

“Kota ini lebih membutuhkan orang-orang yang peka terhadap hidden organization. Andaikan pemerintah kota ini menyadarinya,” Naul meletakkan gelas kembali ke tempatnya dan mengambil kursi lalu duduk di samping Baen yang bertopang dagu. “Kau juga tau sendiri. Dari 7 universitas di kota ini, hampir 70% merupakan jurusan yang mengarahkan mahasiswanya menjadi animator dan bekerja pada perusahan X maupun XX atau XXX atau XXXX atau sejenis itu,” kata Naul.

Baen menghela nafas lagi, dalam hatinya ia berkata, benarkan, Naul mulai lagi menceritakan hal yang sama.

Naul merupakan sepupu Baen. Ia tinggal bertetangga. Sejak kecil mereka selalu bermain bersama. Baen mengetahui kegemaran Naul, begitu pun sebaliknya. Tapi, entah mengapa. Naul mulai berpindah haluan dari hobinya merakit robot. Naul lebih suka menonton film dan membaca buku untuk menyelidiki organisasi rahasia. Baen sebenarnya tidak terlalu percaya akan adanya organisasi rahasia yang dibicarakan oleh Naul. Namun, Naul selalu membawa bukti yang kuat. Semakin lama, Baen terbawa suasana. Ia meyakini sebuah perusahaan pembuat animasi terbesar dunia bergabung dengan sebuah organisasi rahasia yang terlarang. Tidak hanya pada sektor hiburan animasi, organisasi rahasia itu telah merambah pada sektor hiburan drama, iklan, film, bahkan sampai industri musik. Meski Baen pada akhirnya mempercayai kekuatan organisasi rahasia, ia masih berpikir rasional bahwa dirinya hanya seorang mahasiswa yang tidak bisa melakukan apapun untuk menjatuhkan organisasi rahasia tersebut.

Organisasi rahasia. Hanya segelintir orang yang mengetahui kebejatan organisasi tersebut. Dari seluruh proyek yang dibuat, mereka menyelipkan kehancuran bagi negara yang dipijaknya. Mereka tak segan menunjukkan bahwa mereka menganut paham yang nyeleneh. Mereka juga disebut sebagai pemuja makhluk tak nampak yang mereka namakan Mavcam. Baen tidak mengerti sepenuhnya tentang organisasi rahasia itu. Namun pada situs bernama Cylinder ia menemukan banyak video bukti adanya organisasi rahasia yang berbahaya.

“Oh iya, Baen. Kau lihat iklan drama Great Mother Dann?”

Baen berpikir keras, “oh, iya aku melihatnya sekilas.”

“Apakah kau menyadari keganjilannya?” tanya Naul menyelidik.

Baen menghela nafas lagi, “aku hanya melihatnya sekilas Naul, artinya aku tidak menyadari keganjilan apapun. Aku hanya membaca judul dramanya dan hanya ingat lagu pengiringnya saja.”

Naul memukul meja komputer dengan keras, “nah! Kau ingat bagaimana nada lagu pengiringnya?”

Baen mengangguk. Dirinya terganggu lagi. Namun, Baen harus tetap menggambar dan menyelesaikan animasinya hari ini. Besok adalah deadline.

“Pada lagu pengiringnya ada nada seperti ini?” Naul menggenggam handphone nya dan menyalakan sebuah lagu.

“Hmm, hampir mirip,”

“Benar? Selain adanya pattern yang sama dalam cerita. Organisasi rahasia memunculkan dirinya lewat nada lagu yang sama di tiap proyeknya,” ucap Naul serius. Ia menggeserkan kursi berodanya dan mengambil laptop dari dalam tasnya. “Aku memiliki beberapa bukti adanya pattern yang sama, kemungkinan bisa memperdalam informasi tentang organisasi rahasia. Yang sekarang ini bukan lagi organisasi rahasia, tapi organisasi yang mencoba menunjukkan dirinya sebagai penguasa dunia industri hiburan di seluruh dunia.”

Naul menyalakan laptopnya, kemudian mencari data yang di simpan dalam folder yang terkunci. Sengaja ia lakukan agar tak sembarang orang membuka folder itu. Baen menganggapnya terlalu berlebihan. Naul terlalu merasa dirinya paling tau tentang organisasi itu dan berlagak layaknya anggota penyelidik organisasi rahasia.

“Baen, asal kau tau. Aku berhasil membongkar informasi dari…” ucap Naul, kemudian dia berhenti berbicara, matanya terbelalak melihat sesuatu dari layar laptopnya.

“Informasi dari…?” tanya Baen dengan mata yang masih fokus pada layar komputer.

Suasana menjadi hening. Naul masih terbelalak tak percaya bahwa ia melihat sesuatu yang ia tidak ingin lihat. Laptopnya tersambung langsung pada wifi di rumah Baen. Naul tak sengaja mengklik recording0vid yang terhubung langsung pada kamera di kamarnya. Naul melihat sesuatu yang akan membahayakan dirinya. Namun, sekarang ini membahayakan rumah tempatnya tinggal.

“Baen…” ucap Naul tergagap. Naul menelan ludah. Tangan di atas keyboard laptopnya bergetar hebat. “Baen!” teriak Naul histeris.

Baen terperanjat kaget dan menatap Naul terheran, “kenapa? Ada apa?” tanya Baen yang melihat Naul bergelagat aneh.

“Ini gila!” Naul menggelengkan kepalanya. Jemari tangan Naul yang masih bergetar mencoba mengetik sesuatu. “Baen, ini benar-benar gila!”

Ekspresi wajah Naul begitu campur aduk, antara ingin marah dan ingin menangis sekaligus. Baen yang terheran beranjak dari tempat duduk dan berdiri di sisi kursi Naul.

“Mereka? Siapa?” Baen ikut membelalakkan mata. Ia tak mengira bahwa apa yang ia lihat merupakan kejadian ternyata gila.

Segerombolan pria berpakaian serba hitam menghancurkan barang-barang di kamar Naul. Mereka tak menyadari bahwa kelakukan mereka direkam oleh kamera tersembunyi. Terlihat seorang pria yang tidak ikut menghancurkan barang, ia memerintah siapapun. Semua barang Naul hancur. Tak ada yang tersisa. Semuanya berantakan, seperti kapal pecah.

“Naul! Kau harus segera pulang atau bibi dan paman akan terkena bahaya juga. Naul! Segeralah pergi! Aku akan panggil polisi! Aku akan menelpon polisi!” Baen meraih telepon dari sisi mejanya dan menekan angka 777.

Belum sempat Baen menekan angka tujuh terakhir. Naul meraih telpon. Baen terheran dan menatap Naul. Wajah Naul hendak memuntahkan tawanya.

“Hahahaha!” Naul tertawa lebar, memegangi perutnya.

Baen terheran, “ke-kenapa? Kenapa tertawa? Jika tidak segera menelpon polisi, akan lebih buruk kan?” Baen masih kebingungan.

Naul berhenti tertawa, air matanya keluar karena terlalu kencang tertawa. “Ya ampun, kau ini Baen. Terlalu jenuh membuat animasi?” tanya Naul lalu menghapus air matanya.

“Apa maksudmu?” ucap Baen tidak mengerti.

“Lihat! Ini hanya animasi!” Naul membalikkan laptopnya dan mengarahkannya tepat di depan wajah Baen.

Baen mengernyitkan dahi. Bagaimana mungkin ia tidak sadar? Video tadi hanya animasi! Bukan kejadian asli! Baen benar-benar tertipu.

Baen mendengus marah, “tidak lucu!” Baen kembali duduk ketempatnya dengan kesal. Mengarahkan kursornya namun suara tawa Naul begitu mengganggunya.

“Lagipula, kau serius sekali. Jadi membuatku ingin menjahilimu, Baen. Tak ku sangka, animasi buatan temanku ini berhasil menipumu,”

Baen memilih diam, ia tau bahwa ia di tipu dan Baen tidak suka itu. Ia tengah serius sekarang. Mengerjakan projectnya.

“Sudahlah, jangan marah begitu. Nih aku berikan hadiah,” Naul meletakkan sebuah topeng. Topeng itu bukanlah topeng biasa. Topeng limited edition yang hanya di jual di luar negeri. Hanya ada 3 di dunia.

“Eh! Topeng Jawz! Dapat dari mana?” Bean yang sebelumnya tidak melirik akhirnya berhasil teralihkan oleh topeng Jawz, topeng yang ia idamkan untuk dimiliki.

“Aku menemukannya, di dalam kamarku. Entahlah, mungkin itu hadiah dari ayah,” Naul mengangkat bahu. “Aku tidak terlalu menyukainya, untukmu saja Baen.”

“Terima kasih!” ucap Baen bersemangat.

Setelah lama bermain di rumah Baen, Naul pamit pulang karena ia harus segera menyelesaikan tugasnya juga.

“Aku akan datang lagi besok,” pamit Naul sambil memakai sepatu olahraganya.

Baen mengangguk, “jangan lagi terpengaruh oleh organisasi rahasia. Rasanya masih banyak yang harus kamu kerjakan sebagai seorang mahasiswa.”

Naul tersenyum tipis, “ya, memang masih banyak yang harus dikerjakan. Sampai jumpa!” Naul melangkah pergi.

Baen kembali masuk ke kamarnya. Ia memandangi topeng Jawz yang berkilauan terkena sinar lampu kamarnya. Baen merasa bangga memilikinya, meski ia tidak membelinya.

****************

Handphone Naul bergetar di saku celananya. Sebuah pesan masuk.

Target!, begitu isinya.

Naul tersenyum dan segera menjawab,

Cuci otak adalah hal yang mudah. Aku mulai mendekatinya. Target akan semakin tunduk!, balas Naul.

Naul tersenyum, senyum licik. Lalu berjalan melangkah, bukan menuju rumahnya. Tapi sebuah markas.

******************

Naul tak tau dirinya bisa kalah dari gerombolan pria berbaju hitam. Naul disekap, di rumahnya sendiri, tepat sepulang sekolah. Ia tak tau harus bagaimana. Naul ingin sekali membunuh pria kecil yang dibuat terlihat mirip dengannya. Ia tau, akan ada yang mencuri identitasnya. Naul harus segera bebas atau seluruh penduduk kota akan mulai dihancurkan. Naul asli harus bebas!

 

=======================================

Terinspirasi dari sebuah drama yang menurut saya memiliki “hal misterius”. Ada ikatan antara suatu drama dengan drama lainnya. Adapula film yang memiliki pola yang sama dan kesamaan ciri…

Jika teliti. Pasti akan ketemu persamaannya, terutama kode tersembunyinya. 🙂

*yah begitulah*

26 September 2015/Sabtu

7:39pm

@ rumah

Read Full Post »

Topeng Capung

Aku berdiri mematung. Memandangi lapangan sepak bola yang luas. Cahaya yang berpendar diatas sungai begitu indah pagi ini. Tapi, bukan itu alasanku berdiri mematung. Seragam yang ku kenakan begitu wangi tercium oleh hidungku. Hari pertama sekolah dan aku dikejutkan dengan seseorang yang berlari mengitari lapangan sepak bola. Itu bukan hal aneh. Keanehan itu terlihat bukan pada perilakunya yang terus berlari keliling. Tapi, pada topeng yang dikenakannya. Full-mask, begitu aku sebut. Seseorang yang aku rasa merupakan lelaki itu menggunakan topeng berkepala capung. Tubuhnya tinggi menjulang. Ia mengenakan seragam olahraga sekolahku. Sepertinya ia kakak kelas. Terlihat dari adanya dua garis pada celana olahraganya. Garis itulah yang menunjukkan tingkatan kelas.

Tak lama, lelaki itu berhenti berlari. Memegangi dengkulnya dan seperti terengah-engah. Pasti topeng itu membuatnya kesulitan untuk bernafas. Keringatnya pun pasti banyak bercucuran. Menyadari keberadaanku, lelaki itu menengok. Mata dari topeng capungnya itu seperti hendak mengusirku. Karena khawatir kakak kelas itu mengenali wajahku, bersegera aku melangkah menuju sekolah.

Baru saja aku melangkahkan kaki pertamaku masuk ke gerbang sekolah. Keanehan terjadi lagi, entah kenapa aku merasa bagai hidup bukan di bumi. Seorang kakak kelas bergandengan dengan sebuah robot. Robot? Bukan kah mengherankan? Sebuah robot yang memang terlihat seperti robot. Bukan manusia. Siswa di sekitarku berbisik-bisik. Aku mendengar mereka mengatakan Kak Rei memang bersahabat dengan robot humanoid miliknya yang dipanggil Buro itu. Menurut hasil pendengaran telingaku yang tajam, Kak Rei memiliki tubuh yang lemah dan sulit untuk bergerak. Buro adalah pelayan pribadinya. Buro sendiri dibuat oleh kakek dari Kak Rei yang bekerja untuk negara. Jadi, kakek Kak Rei merupakan partner pemerintahan. Karena membuat robot tentara dan senjata robot untuk keperluan pertahanan negara. Aku mengernyitkan dahi, benarkah adanya pekerjaan seperti itu di negaraku ini?

Upacara dilakukan sebelum siswa baru masuk kelas. Salah satu siswa baru itu adalah aku yang tengah menahan pegal karena berdiri terlalu lama. Siswa baru di sampingku memilih untuk mengobrol. Andaikan mereka sadar, suara mereka begitu kencang dan lebih mengganggu daripada sambutan ketua pengawasan siswa yang membosankan. Bicara panjang lebar meski intinya siswa harus disiplin.

“Hei, kemarin ketika aku pergi ke pusat pertokoan, aku melihat Kak Rei turun dari mobilnya dan terjatuh. Robotnya itu tidak sempat menyelamatkannya. Kau tau? Hanya luka kecil saja dan BUUKKK, sang robot di hajar oleh pelayan Kak Rei yang nampaknya seorang manusia.”

“Eeeh, benarkah? Tega sekali,”

Begitulah percakapan yang aku tangkap dengan telingaku. Aku menggunakan hearing-aid hari ini. Biasanya aku melepasnya karena tidak betah. Tetapi ibu memaksa untuk menggunakannya di hari pertamaku agar bisa mendapatkan teman baru. Pada akhirnya, aku malah tidak mau berteman dengan siapapun. Tampaknya semua orang nampak membosankan. Berbeda dengan sekolahku yang dulu. Di mana aku bisa belajar apapun yang aku inginkan. Guruku menyebutnya dengan sekolah spesial. Sedangkan di sini aku harus mengikuti alur pelajaran seperti yang telah di jadwalkan. Ya, pasti akan membosankan.

Setelah lebih dari setengah jam berdiri akhirnya siswa baru diizinkan untuk masuk ke kelas masing-masing. Meski aku sendiri tidak tau di mana letak kelasku. Aku kembali terheran dengan cara sekolah ini menyambut siswa barunya. Ketika kami keluar dari gedung upacara yang lebih tepatnya merupakan gedung olahraga, kami siswa baru di sambut oleh kakak kelas yang begitu ramai membawa banyak tulisan. Ada yang bertuliskan ‘selamat datang’, ‘pasukan 1-4’ dan itu adalah kelasku, juga tulisan ‘ayo ikut ekstrakulikuler’. Karena ada yang membawa tulisan kelasku, aku melangkah menuju tulisan itu berada.

Baru aku ketahui, pembawa tulisan itu adalah tour-guide sekolah, kemungkinan mereka adalah anggota OSIS. Sang tour-guide menunjukkan berbagai macam fasilitas sekolah kami. Ya, memang sekolahku termasuk elit. Mereka tidak memberikan jadwal tour eksklusifnya sebelum kami berhasil lolos masuk. Ketat memang, seperti celana salah satu band rock yang sering aku lihat di TV. Meski ketat yang itu dan sekolahku berbeda satu sama lain.

“Nah, ini adalah kelas kalian. Kelas 1-4. Kelas terakhir di dari empat kelas di jenjang kelas 1. Silakan masuk,” ucap pemimpin tour dengan senyum sumringah. Aku kira wajahnya tidak akan semanis itu jika sudah masuk ruang OSIS. Dia pasti menyeramkan.

Kami mengantri masuk satu persatu. Hal aneh terjadi lagi. Aku melihat lelaki bertopeng capung itu melintas di lorong. Hanya sekilas saja. Tapi, aku yakin tadi adalah lelaki topeng capung itu.

“Ada apa? Jangan gugup masuklah,” ucap pemimpin tour yang melihatku terpaku sambil terus menatap kearah lorong. Aku bukan gugup, aku hanya melihat orang aneh, begitu ucapku dalam hati.

Sinar matahari begitu menyilaukan mataku. Aku bersyukur jam istirahat segera datang. Aku mabuk di paksa menerima pelajaran kimia. Aku tidak mengerti. Aku belum pernah belajar itu sebelumnya di sekolahku yang dulu. Sistemnya benar-benar berbeda. Aku rasa, aku harus belajar sendiri lagi seperti yang dulu pernah aku lakukan.

Sambil membuka roti dari plastik pembungkusnya aku melihat segerombolan kakak kelas yang berjalan ke belakang gedung olahraga. Tampaknya ada sesuatu yang serius. Aku yang tengah duduk di bawah pohon rindang di samping sekolah memilih untuk melahap roti saja. Sudah cukup pelajaran kimia menguras otak dan perutku. Aku harus makan sebelum pelajaran matematika menghabisiku.

Baru aku lirik sebentar, gerombolan kakak kelas sudah menghilang di balik gedung olahraga, aku melihat lelaki bertopeng capung melangkah terburu-buru menyusul gerombolan. Karena penasaran, aku segera berlari dengan roti yang ku masukan kembali ke dalam tas bekal. Aku ingin tau ada apa yang terjadi.

Suara lelaki yang tengah dipukuli, suara lelaki yang terdengar putus asa, dan suara robot yang rusak. Itulah yang ku dengar sebelum mengintip apa yang terjadi.

“Sial! Sial! Sial!”

“Hajar! Terus sampai mati!”

Begitu teriakan yang ku dengar. Tidak hanya satu teriakan mengancam, ada banyak yang meneriakkan kata-kata kasar.

Sebenarnya aku terlalu takut. Tapi, aku harus tau apa yang terjadi. Aku bersembunyi di balik semak. Berjongkok dan menutup mulutku agar tidak terdengar nafasku oleh gerombolan tadi.

Dari sela semak, terlihat lelaki topeng capung itu di pukuli. Oleh lima orang sekaligus. Tega sekali. Mataku terbelalak. Aku benar-benar tidak tega melihatnya. Di sisi yang lain Kak Rei tengah ditahan oleh seorang lelaki. Buro tidak sadarkan diri namun kakinya patah. Buro nonaktif, tidak bisa menyelamatkan keduanya. Begitu terus. Mereka memukuli lelaki bertopeng capung. Sesekali perut Kak Rei dipukuli juga. Aku menutup mataku. Sampai akhirnya ku dengar langkah kaki terakhir yang pergi dari tempat kekerasan itu.

Ku lihat Kak Rei terjatuh. Memeluk Buro dan menangis meminta maaf. Lelaki bertopeng capung itu terkulai lemah, tengkurap diatas tanah. Tak berdaya dan tidak menggerakan tubuhnya.

Setelah aku merasa keadaan cukup aman. Aku keluar dari persembunyian dan berlari ke arah Kak Rei.

“Kau tidak apa?” tanyaku pada Kak Rei yang masih belum melepas pelukannya pada Buro.

Kak Rei mendongkakkan kepalanya dan menatapku. Air mata Kak Rei bercucuran, hidungnya merah. Matanya yang menatapku seakan bertanya, siapa aku yang mendekat padanya.

“Apa orang itu juga tidak apa?” tanyaku padanya lagi sambil menunjuk lelaki bertopeng capung. Aku tidak berani mendekat.

Kak Rei menatap lelaki bertopeng capung yang ternyata tengah memperhatikan kami. Aku menelan ludah. Sebenarnya aku takut dia telah mati dan aku saksi bisu dari kematiannya itu. Lukanya parah sekali. Tapi, tunggu… ada yang aneh…

Entah mengapa, tiba-tiba Kak Rei berdiri dan mengambil sebilah kayu dari samping Buro. Dengan kekuatan yang masih dimilikinya, Kak Rei memukuli lelaki bertopeng capung itu begitu keras. Aku terkejut bukan main. Bukan kah lelaki itu berniat membantu Kak Rei. Tapi mengapa?

“Pergi kau tidak berguna!” teriak Kak Rei sambil memukuli kepala lelaki topeng capung begitu keras.

Aku bersegera menahan Kak Rei, “hentikan! Dia tidak salah!” teriakku.

Kak Rei berhenti memukul dan menatapku marah, “tidak salah katamu? Dia tidak bisa menyelamatkanku! Dia tidak bisa menyelamatkan Buro!” teriak Kak Rei penuh amarah. Air matanya menetes lagi. “Aku tidak pernah menginginkan dia untuk hidup! Tidak pernah!” ucap Kak Rei lagi.

“Tapi dia berusaha menyelamatkan Kak Rei,” sanggahku.

Kak Rei mendengus kesal, melempar kayu baloknya. Menatapku penuh kekesalan karena berani menghentikannya. Secara kasar Kak Rei membuka topeng capung yang dikenakan lelaki itu.

Sontak aku mundur dan berteriak melihat wajah asli sang lelaki. Aku tidak menyangka wujud asli lelaki itu sebelumnya. Dia adalah robot. Wajah manusianya koyak. Mungkin itulah mengapa ia menggunakan topeng capungnya.

“Maaf,” kata lelaki itu. Nada bicaranya sungguh memang seperti robot.

“Lebih baik kau nonaktifkan dirimu sendiri,” perintah Kak Rei kemudian melangkah menuju Buro. Diangkatnya kaki Buro yang terputus. “Aku tidak tau bagaimana harus mengaktifkannya kembali.” Ucap Kak Rei putus asa.

Aku jatuh terduduk. Mengapa semua ini aneh sekali? Pantas saja lelaki itu tidak berdarah. Hanya debu yang mebuatnya kotor. Ia tidak memar, hanya bajunya saja yang koyak karena dipukuli.

“Jika kau mau, kau ambil saja Rouka itu. Aku tidak butuh dia,” ucap Kak Rei padaku. Aku menatap Kak Rei yang kini merasa kehilangan Buro. “Aku tidak tau cara mengaktifkan Buro dan juga cara memperbaiki Rouka. Kakekku sudah tiada,” setetes air mata jatuh tepat di atas tangannya.

Aku termenung sejenak, “lalu mengapa mereka memukuli Kak Rei?” tanyaku. Aku berdiri dan mencoba membantu mengobati luka di tangan Kak Rei.

“Entahlah, mereka hanya tidak suka aku berada di sekolah ini. Sama seperti aku yang tidak suka pada Rouka.” Kak Rei menatap sinis kearah Rouka yang masih terbaring. Ia masih aktif.

Kak Rei balik menatapku serius, “kau juga harus hati-hati. Sebelum orang lain menyadari kekuranganmu dan menjadikannya sebagai alasan terbesar mereka untuk menyakitimu,” Kak Rei beranjak pergi sebelum sempat aku bantu.

Kini, aku menatap Kak Rei yang berjalan menjauh sambil membopong Boru. Langkahnya gontai, kesakitan di tubuhnya makin terasa. Kak Rei meringis.

Ku lihat Rouka yang masih saja menatapku meminta pertolongan.

“Aku ingin lari, sambil melihat air sungai yang berkilauan,” ucapnya.

Aku terdiam dan bersegera untuk pergi karena bel masuk telah berbunyi. Aku takut. Takut pada semua orang di sekolah ini. Aku ingin pindah, sebelum mereka mengetahui bahwa aku adalah robot humanoid seri 7.9 yang sedang menyelidiki sekolah ini. Aku harus pergi, sebelum aku di nonaktifkan oleh manusia kasar.

===================================================

Spesial September 😀

Juli dan Agustus tidak ada postingan, dibayar dengan cerpen ini :”) Terinspirasi dari

米津玄師 MV 『恋と病熱』 you should check it on youtube! :”D ketje~

Read Full Post »